02 Desember 2007

Fort Rotterdam

Pertahankan Misi Perdamaian Melalui Touring
Menengok Komunitas Scooter di Benteng Fort Rotterdam

KEBERADAAN scooter atau lazimnya dikenal vespa, memang berbeda dengan kendaraan mesin beroda dua lainnya. Selain usia scooter yang rata-rata terbilang 'tua', kendaraan yang mulai populer di era Soekarno ini, mampu membentuk komunitas yang solid.
Laporan: Dian Muhtadiah

Scooter adalah napas dan jiwa. Scooter adalah kekasih sejati. Demikian kalimat itu, meluncur dari para maniak scooter yang kerap disebut scooterist, saat dijumpai di depan Fort Rotterdam. Saat itu, Minggu dinihari, jarum jam bergerak ke arah pukul 01.22 Wita. Para scooterist baru muncul. Pasalnya, hujan lebat yang mengguyur kawasan Pantai Losari, membuat jadwal meeting mereka ikut molor.

Temaram cahaya dari sebuah lampu penerang jalan, menjadi sebuah pemandangan indah. Kala kilau cahayanya menerpa sembilan scooter yang beraneka warna dan model itu. Sang pemilik, yang semuanya adalah lelaki berusia rata-rata 25 tahunan, berkumpul di bawah tiang listrik. Mereka larut bercengkerama, menikmati malam yang baru beranjak pergi. Ditemani sebungkus kacang goreng, dimakan beramai-ramai.

Dengan ramah, mereka mengajak Fajar bergabung. Menikmati suguhan yang kata mereka, ala kadarnya itu. Sambil bernostalgia, para scooterist ini menuturkan awal pembentukan komunitas mereka, yang disebut Bunga. "Artinya Butut 'n Gaul. Ide awalnya sudah lama, tidak tahu kapan persisnya. Tapi kami mempatenkan pada 30 September 2006," terang Usman, yang dipercaya sebagai pemimpin Bunga.

Ide itu pun sendiri ditelorkan, ketika mereka sering berjumpa di Bengkel Sirua Jaya Motor, yang berada di bilangan Jl Abdullah Dg Sirua. Belakangan, bengkel milik Aci yang juga maniak scooter itu, dijadikan markas besar Bunga. Sambil mereparasi scooter, di bengkel itulah mereka yang beranggotakan 28 orang, kerap sharing dan berdiskusi berbagai topik apapun, kecuali politik.

"Kami menyukai kebebasan. Makanya, kami tak suka ribut berbicara politik," tandas Aci, asli Bone, perihal alasan mereka yang tak mau menyentuh wilayah politik. Rekan-rekan yang mendampingi Aci, kompak mengangguk. Bagi mereka, hidup adalah petualangan. Dan petualangan itu hanya bisa dinikmati di atas scooter. Membawa mereka ke berbagai pelosok Sulsel, atau kemana saja mereka mau.

"Kami tak sekadar berpetualang tanpa misi yang jelas. Ketika kami berjalan, kami membawa pesan solidaritas dan perdamaian," papar Arman, salah satu pencetus didirikannya komunitas ini. Arman mengulas, pesan perdamaian itu termaktub dalam stiker yang mereka bagikan ketika touring, yang dilakukan minimal sebulan sekali. Sebenarnya, tak ada embel-embel yang tertulis pada stiker itu, hanya nama komunitas mereka.

Namun melalui stiker itulah, para scooterist ini mengisyaratkan, bahwa mereka adalah saudara bagi sesamanya. Alasan lainnya, mereka mengungkap, berpetualang itu sebagai satu cara mempertahankan scooter itu sendiri.

"Scooter saat ini makin jarang dilirik. Makanya, kami ingin agar scooter tetap eksist sampai kapan pun. Scooter itu kan sudah ada pada zaman Soekarno. Berarti scooter juga bagian dari sejarah bangsa," urai Aras panjang lebar, si pemilik scooter jenis Sprin yang keluaran tahun 1977.

Ditambahkan Aras yang asli Bulukumba ini, jika scooternya itu warisan dari orang tuanya. "Saya masih umur lima tahun, sudah duduk dibonceng bapak di scooter ini. Kalau saya sudah tua, scooter ini pun akan saya wariskan kembali ke keturunan saya," ujarnya mantap.

Para pria yang statusnya rata-rata masih jomblo ini, mengatakan, kecintaan terhadap scooter tidak bisa disandingkan dengan apapun. "Saya pernah tidak menikmati wesel sebulan gara-gara dipakai membetulkan scooter yang rusak," ungkap Dani, mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) asal Ternate ini. Ungkapan senada, dipaparkan Arman, yang mengaku putus dengan kekasihnya gara-gara scooter.

"Pacar saya gengsi dijemput pakai scooter. Memang scooter saya butut, tapi saya tidak sudi dia menghina scooter saya," ucap Arman dengan nada gusar. Lain lagi dengan Aras, yang mengaku mendapatkan jodoh melalui scooternya. "Dulu waktu masih jadi pacar, istri saya tidak mau naik scooter. Karena saya modifikasi, akhirnya ia jatuh hati juga. Sampai sekarang, ke pasar pun saya antar pakai scooter," jelas Aras tersenyum bangga.

Para scooterist itu, mengaku dirinya adalah bagian dari hidup scooter itu sendiri. Seperti yang dikatakan Firman, kerap apa yang terjadi pada dirinya, sering menimpa scooternya. "Misalnya saya lagi tidak mood hari itu, tiba-tiba scooter saya ikutan mogok. Bagi saya itu aneh. Makanya, saya tidak berniat beli kendaraan lain meski kantong saya cukup," paparnya.

Baca Selengkapnya..

Design by Dzelque Blogger Templates 2007-2008